Lagi dan Lagi
- GAW
- Sep 27, 2019
- 3 min read

“Kau hancurkan hatiku hancurkan lagi
Kau hancurkan hatiku 'tuk melihatmu
Kau terangi jiwaku, kau redupkan lagi
Kau hancurkan hatiku 'tuk melihatmu”
Kukatakan dengan Indah – Peterpan
Andaikata di kediaman Tuhan ada Spotify, mungkin lagu itulah yang akan Ia pasang ketika kita melakukan dosa lagi dan lagi. Pernahkah kita merasa, mengapa kita rentan sekali melakukan dosa? Seringkali kita berkata dalam hati, “Oke, ini yang terakhir. Aku harus berubah”. Atau “Maaf, Tuhan, aku lepas kendali. Aku janji tidak akan mengulangi lagi”. Namun kenyataannya, “tidak semudah itu, Ferguso”. Kita kembali tersandung. Kita ulangi lagi kesalahan sama. Bagaikan keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama berulang kali.
Ya, kita sebagai manusia memang memiliki kecenderungan melakukan dosa yang disebut concupiscence. Secara harafiah, kata concupiscence identik dengan hasrat/hawa nafsu. Penerapannya bisa bermacam-macam mulai dari keserakahan, ketinggi hatian, sampai hasrat seksual.
“A thousand times I've failed
Still Your mercy remains
And should I stumble again
I'm caught in Your grace”
From the Inside Out – Hillsong United
Kabar baiknya, Bapa kita di Surga selalu menunggu kita dengan tangan terbuka. Pintu depan rumahNya tidak dikunci. Ia ingin membiarkan kita masuk manakala kita berhasil menyusuri jalan pulang.
Dalam kisah anak yang hilang (Luk 15: 11-32), dikisahkan seorang Bapa yang dihadapkan pada seorang anak yang dapat dibilang “durhaka”. Sang anak meminta harta kekayaan dari Bapa lalu dihambur-hamburkan. Kita pun begitu. Kita sudah mendapat harta kekayaan yang banyak sekali dari Bapa yang mungkin kita tidak sadari dari kecil. Rumah untuk bernaung. Orang tua yang merawat dari kecil. Pekerjaan yang kita jalani ataupun edukasi yang boleh kita dapati. Tidak semua memiliki keberuntungan yang sama. Akan tetapi, unsur concupiscence kita membuat kita mengkhianati rahmat yang telah Tuhan berikan.
Namun demikian, ketika Sang Anak mau dan berhasil menemukan jalan pulang, Bapa-nya bahagia bukan main. Segera diadakan pesta untuk menyambut anaknya yang hilang. Bukankah kita juga mau Bapa di Surga menyambut kita dengan tangan terbuka ketika kita kembali ke jalanNya?
“Ubah hatiku
Seputih hati-Mu
Setulus salib-Mu
Kasih-Mu Tuhan
Biar mataku
Seperti mata-Mu
Pancarkan kasih-Mu
Ku mau jadi seperti-Mu”
Jadi Seperti-Mu – JPCC Worship
Lalu apa yang perlu kita lakukan untuk kembali ke jalan Bapa? Apa yang dapat kita lakukan untuk bisa menahan diri tidak kembali jatuh ke dalam dosa yang sama?
Simpel saja.
Pertama dan yang paling mendasar, kerendahan diri. Ya, kerendahan diri untuk mengakui bahwa kita adalah manusia lemah yang cenderung berbuat dosa. Kita tidak mungkin mengubah diri apabila kita masih terus melakukan pembenaran atas tindakan kita yang tidak benar.
“Iya, Tuhan, maaf saya berdosa, habis saya dipancing terus, Tuhan”.
“Dia duluan, Tuhan, yang mulai. Jadi saya kesal. Coba dia tidak mulai duluan”
“Ah, Tuhan. Ini kan hal yang maklum dilakukan. Sering kok orang melakukan ini. Tidak apa-apa kan?”
Tidak. Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk melakukan dosa. Kita perlu merendahkan diri untuk mengakui. “Ya, Tuhan. Saya yang salah. Saya yang tidak dapat mengendalikan diri”.
Kedua, kemauan untuk dipimpin Tuhan. Setelah kita membuka diri kita, maka selanjutnya kita memohon pertolonganNya untuk bisa dikuatkan manakala kita dihadapkan pada pencobaan. Caranya ada banyak. Berpuasa, berpantang, doa rutin (misalnya Doa Rosario, Angelus). Namun kita harus mau terlebih dahulu. Baru setelah itu Tuhan akan menguatkan. “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33)

Terlepas dari itu semua, kita patut bersyukur atas semua pencobaan yang hadir dalam hidup kita. Tanpa itu semua, kita tidak akan tahu keterbatasan diri kita lalu baru kita menyadari bahwa kita manusia tidak dapat hidup suci tanpa adanya kasih dari Allah sendiri.
Thank you, Lord,
for the trials that come my way.
In that way I can grow each day
as I let you lead,
And thank you, Lord,
for the patience those trials bring.
In that process of growing,
I can learn to care.
But it goes against the way
I am to put my human nature down
and let the Spirit take control of all I do.
'Cause when those trials come,
my human nature shouts the thing to do;
and God's soft prompting
can be easily ignored.
Thank You Lord (For The Trials That Come My Way) – Daniel Poropat
Comments