Why Chastity and How Can I Be Chaste?
- WILG
- Aug 19, 2019
- 7 min read
Updated: Nov 25, 2019
“All the baptized are called to chastity. The Christian has "put on Christ, the model for all chastity. All Christ's faithful are called to lead a chaste life in keeping with their particular states of life. At the moment of his Baptism, the Christian is pledged to lead his affective life in chastity.” - CCC, n. 2348

Setiap orang pasti mengalami masa pubertas. Bagiku, masa pubertas adalah awal dimana kecanduan pornografi dan masturbasi mulai menghantui hidupku. Beruntung masih merasa “terhantui”, karena masih ada perasaan bersalah, malu kepada diri sendiri, & kepada Tuhan setelah setiap kali aku jatuh. Kepuasan sementara yang dihantui dengan perasaan bersalah membuatku berpikir, “What’s wrong with me? Why did it feel so right (the pleasure), but only to make me feel so wrong after (the sin)?”
Pernahkah kita berpikir mengapa Tuhan melengkapi manusia dengan “sexual desire”? Is it really from God? Because if it only brings us to sin, it must not come from God, no? Pertanyaan semacam itu yang terus menghantuiku. Dan ternyata pertanyaan spontan semacam itu yang membuat Tuhan menjawabku, dan akhirnya menjadi sebuah perbincangan panjang dengan Tuhan. Tuhan mengenalkan pada sebuah kebebasan yang sesungguhnya, yaitu ajaran gereja mengenai kesucian (chastity).
The Great Mystery
Ajaran Gereja tentang seks dan pernikahan adalah sebuah kabar baik (good news), tetapi di saat yang sama juga sebuah kabar yang menantang (challenging news). Kabar baik karena ajaran ini mengungkap kebenaran tentang cinta (love), dan yang namanya cinta, it’s always gonna be challenging, right?
Gereja menggambarkan bahwa seksualitas memiliki peran sentral dalam rencana Allah. Kitab Suci diawali dengan kisah pernikahan antara Adam dan Hawa pada kitab Kejadian (Kej 1:26-27 & 2:18-25) dan ditutup dengan pernikahan Anak Domba pada kitab Wahyu (Why 19:7-10) yang menggambarkan pernikahan antara Kristus dan Gereja. Jadi dengan analogi ini, kita dapat melihat bahwa rencana Allah untuk keselamatan adalah untuk “menikahi” (bersatu) dengan kita manusia. Allah ingin menyusun suatu skenario keselamatan yang tidak terlewatkan oleh manusia. Yaitu dengan memberikan label berupa laki-laki dan perempuan menurut gambaran Allah.

Allah menggambarkan rupa misteriNya yang tidak terlihat melalui gambaran laki-laki dan perempuan. Lalu seperti apa rupa Allah yang tidak terlihat? Pada surat Rasul Yohanes yang pertama, dikatakan bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:8). Kita sering menggambarkan ayat ini sebagai bentuk kasih Allah kepada kita, itu tidak salah. Tetapi di balik ayat ini, ada pemahaman yang lebih luas, di mana sebelum Allah mengasihi kita manusia, Dia adalah kasih itu sendiri, Dia mengasihi diriNya dalam hubungan trinitas.
Allah dalam diri-Nya sendiri adalah persatuan yang memberi kehidupan. Di mana Allah Bapa memberikan diri-Nya dalam kasih kepada Allah Putra. Dan Allah Putra menerima Allah Bapa, serta menjadikan diri-Nya sebagai pemberian kembali kepada Allah Bapa. Kasih yang terjadi antara mereka begitu nyata dan mendalam yang digambarkan sebagai Allah Roh Kudus. Dan ketika manusia diciptakan menurut gambaran Allah, maka manusia juga terpanggil untuk mengasihi seperti Allah mengasihi. Manusia sebagai pria yang bersedia menjadikan dirinya sebagai hadiah kasih kepada wanita, dan sebagai wanita yang bersedia menerima hadiah kasih tersebut dan memberikan dirinya kembali kepada pria. Dalam proses pemberian dan penerimaan tersebut, Tuhan menginginkan manusia memiliki andil dalam proses pemberian kehidupan, berupa kelahiran manusia baru.
Analogi ini mungkin menimbulkan pertanyaan dan kontroversi di kalangan umat Katolik maupun non-Katolik. Kita perlu memahami bahwa manusia diciptakan segambar dengan rupa Allah, bukan Allah digambarkan dalam rupa manusia, laki-laki dan perempuan. Rupa Allah tetap menjadi misteri yang tidak dapat dipecahkan dalam sebuah gambaran atau analogi begitu saja. Kita tidak dapat membatasi Allah yang tidak terbatas dengan konsep manusia yang terbatas. Oleh karena itu, konsep kasih dan seksualitas yang sangat terbatas ini, hanya membantu manusia untuk memahami kasih Allah.
“To love and be loved as God loves - this is the deepest desire of the human heart. God put it there when he made us in His image. Nothing else can satisfy. Nothing else will fulfil.” - Christopher West (Good News about Sex & Marriage)
Sex is Holy!
Jadi, melalui pemahaman dasar ini, aku disadarkan bahwa hubungan seks antara laki-laki dan perempuan sangat kudus karena merupakan peran sentral dari rencana Allah dalam mengajarkan kasih dan memberikan kehidupan baru. Namun, timbullah pertanyaan selanjutnya: free sex. Am I allowed to have sex with any girl I want?
Unfortunately, the answer is NO. Jika gambaran tentang seks adalah sedemikian indahnya, maka seks haruslah menggambarkan kasih Allah yang free, total, faithful and fruitful. Atau dalam kata lain, gereja Katolik menggambarkannya dalam satu buah kalimat yaitu pernikahan (mariage). Di altar pernikahan, mempelai wanita dan pria memberikan komitmennya kepada satu sama lain secara:
Free (bebas tanpa paksaan)
Total (sepenuhnya)
Faithful (setia sampai akhir) dan
Fruitful (berbuah atau terbuka terhadap kelahiran)
Seks yang kudus harus memenuhi keempat syarat tersebut. Oleh karena itu, sangat jelas ketika sexual pleasure seperti free sex tidak dapat dikatakan holy karena tidak memenuhi syarat total & fruitful.
“Of all the ways that God chooses to reveal His life and love in the created world, marriage, enacted and consummated by sexual union, is in a certain way the most fundamental. Christ, of course, is the fullest revelation of God’s love in the world. Yet, it’s marriage, more than anything else that prepares us to understand the love of Christ”. - Christopher West (Good News about Sex & Marriage)
Unity in “One Flesh”
Pemahaman gereja Katolik mengenai seks dan pernikahan tentu dapat digali lebih dalam. Bagaimana persatuan antara pria dan wanita dalam pernikahan, menggambarkan keinginan (desire) Kristus untuk bersatu dengan gerejaNya. Dan bagaimana Kristus sendiri meninggalkan Bapa di Surga dan meninggalkan rumahnya bersama Bunda Maria, untuk bersatu dengan mempelaiNya. Gambaran ini dijelaskan dalam analogi “satu tubuh”, yaitu 1. persatuan antara Gereja (kita sebagai umat) dengan Kristus adalah ketika kita menerima tubuh Kristus dalam setiap ekaristi; dan 2. persatuan laki-laki dan wanita, digambarkan dalam suatu hubungan seks yang kudus.
Sexual desire diberikan Tuhan kepada manusia agar (1) dapat merasakan kekuatan kasih seperti kasih Tuhan terhadap mempelaiNya, (2) agar kita dapat berpartisipasi dalam proses pemberian kehidupan dan sehingga dapat memenuhi arti sesungguhnya sebagai pria dan wanita, lalu mengapa sexual desire itu seringkali menjatuhkan manusia ke dalam dosa?
Flash Back to The Original Sins
Jika memang ada musuh Tuhan yang menginginkan kegagalan manusia untuk mencapai tujuan utama, ialah setan. Dia yang sejak awal ingin merusak gambaran manusia yang serupa dengan Allah. Dia juga yang kini mengubah arti dari sexual desire yang dirasakan manusia, sehingga muncul peralihan arti, perubahan tujuan dari seksualitas itu sendiri. Misalnya seperti ungkapan bahwa masturbasi adalah baik untuk kesehatan, apakah ini betul dari Tuhan? Ataukah ini hanyalah salah satu cara setan untuk mengalihkan manusia dari tujuan utama akan seksualitas itu sendiri?
Seperti yang terjadi di Kejadian, dimana setan mengelabui wanita dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak ingin Hawa menjadi seperti Allah. Padahal manusia sudah diciptakan segambar dan serupa Allah, bagaimana mungkin Tuhan tidak ingin kita menjadi seperti Allah? Panggilan hidup manusia akan kekudusan adalah untuk menjadi kudus seperti Allah kudus (Im 11:44), yang pada perjanjian baru dilengkapi dengan ungkapan “serupa dengan Kristus” (Rm 8:28-29). Oleh karena itu, jika Kristus sendiri memberikan diriNya seutuhnya, tetap setia dalam penderitaanNya untuk “bersatu” dengan mempelaiNya, bukankah kita pun harus memiliki hasrat yang sama seperti Kristus? Yaitu pemberian diri seutuhnya, setia dalam penantian kita untuk bersatu dengan mempelai, maka ungkapan masturbasi adalah sehat bagi kesehatan jelas menyalahi pemahaman hasrat seksual yang ditentukan Allah sejak semula.
“dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. - Yohanes 8:32
Am I really free from sexual sins?
Kita mungkin sering bertanya, apa sih bata-batas yang dianggap dosa? Kita harus meminta rahmat Tuhan dan kebijaksanaan untuk tahu mana yang diperbolehkan mana yang tidak. Secara umum kita bisa bicara soal Love & Lust. Kalau dasarnya cinta, it's allowed. Tapi dasar cinta yang seperti apa? Apakah ketika aku cinta kepada pacarku, lalu aku boleh berhubungan seks diluar nikah? Atau cinta yang sesungguhnya adalah ketika kita menjaga kesucian (chastity) dari pasangan kita? Jika tujuan setiap manusia adalah kekudusan, maka tentu dasar cinta yang sesungguhnya adalah ketika kita mendukung pasangan kita, baik belum atau sudah menikah, untuk mengejar kekudusan tersebut (to stay chaste)?
Standar Tuhan Yesus dinyatakan jelas pada Matius 5:28 yang berisi “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Kata di dalam hatinya, adalah sebuah standar yang sangat jelas bahwa dosa manusia tidak hanya ditentukan dari apa yang dilakukannya saja (action), tapi amat sangat ditentukan dari isi hatinya (niat atau intention). Oleh karena itu, bicara soal Love & Lust haruslah dengan kebijaksanaan yang hanya berasal dari Allah sendiri. Manusia harus menilai diri sendiri, dengan menggunakan rahmat kebijaksanaan dari Allah, untuk mengukur batas-batas pribadi masing-masing. Dan atas dasar itu juga, manusia lain tidaklah berhak untuk menilai atau bahkan menghakimi, baik secara lisan maupun di dalam hatinya, karena jika kita menghakimi, walau hanya di dalam hati saja, kita pun sesungguhnya sudah jatuh dalam dosa.
Bring Sin Into The Light
Setelah mengetahui kebenaran yang memerdekakan ini, the next question is, where do I start? How can I be chaste?
“Take no part in the fruitless works of darkness; rather expose them, for it is shameful even to mention the things done by them in secret; but everything exposed by the light becomes visible, for everything that becomes visible is light.” - Ephesians 5:11-13 (NABRE)
Walau dengan rasa malu, tetapi karena kebenaran dan hasrat baru, dimana aku ingin menjadikan hidupku berhasil memenuhi tujuan utama sang pencipta, maka aku membawa dosa seksualku kepada terang, yaitu dengan mengakui kelemahan kita dan menerima sakramen tobat. Langkah awal ini tidak mudah, terlebih lagi langkah selanjutnya, karena harus dipenuhi dengan perjuangan untuk mengatakan “tidak” pada hasrat seksual yang salah. Tidak jarang aku kembali jatuh ke dalam dosa yang sama, tetapi dengan rahmat Tuhan, aku mulai mengalami kesembuhan, dan perjuangan untuk hidup murni tetap berlanjut hingga sekarang. Seperti orang yang sembuh dari sakit, tetap harus menjaga kondisi tubuhnya dengan makan sehat, istirahat cukup dan berolahraga. Kesembuhan dari dosa pun sama, harus dijaga walau godaan terus muncul setiap saat. Dosa seksual tidak akan berakhir ketika kita menikah, namun nyatanya, meski dalam pernikahan, kita tetap harus mempertahankan kekudusan dan kesucian diri kita, agar tujuan utama sang pencipta dalam diri kita, laki-laki dan perempuan sungguh-sungguh menjadi nyata. Seks yang didasarkan oleh sexual pleasure tidak sesuai dengan tujuan yang digambarkan Allah melalui gereja Katolik. Sehingga perjuangan untuk mengejar kekudusan dan kesucian ini harus dilatih sejak dini, bahkan sebelum pernikahan, karena akan berlanjut seterusnya setelah pernikahan.
“Chastity will not end by marriage. Chastity is not a short-term goal, it's a long journey towards holiness. A whole life journey worth taking. It’s good news, and also challenging news”.
Comments